Sunday, December 11, 2011

Perkara Netiquette

NETIQUETTE adalah etika berinternet. Aslinya dua kata yang dijadikan satu, yakni networks dan etiquette. Sebelum internet lahir, kata netiquette tentu belum ada. Orang mengartikan sebagai berprilaku sesuai etiket  saat tersambung ke jaringan internet, entah itu saat kita berinteraksi di forum, mailing list, maupun blog. Ternyata, ada etiket yang sejatinya harus dipegang oleh siapapun yang sedang berada di jaringan internet saat mereka berinteraksi. Bagaimana rupa netiquette itu? Prinsipnya sama seperti etiket atau sopan santun pada umumnya, hanya saja ranahnya di dunia maya! Dengan sangat menyesal, sore tadi kami harus menghapus (delete) sebuah komentar seorang pembaca Kompasiana yang sangat tidak bernetiket, tidak ada sopan-santunnya! Memberi komentar atau menanggapi tulisan boleh-boleh saja, sebab itu cermin demokratisasi. Tetapi bila komentar disampaikan secara tidak sopan, kasar, sarkastis, nyinyir, mendiskreditkan penulis, dan “nggak nyambung”, kami tidak akan memoderasinya (menayangkannya). Kalaupun sudah tayang seperti kasus tadi, kami tidak segan untuk menghapusnya!
Seorang pembaca Kompasiana (tidak usah kami sebutkan identitasnya), mengomentari postingan Budiarto Shambazy berjudul Chicago 4 November 2008. Anehnya, komentar yang disampaikan bukan pada masalah yang ditulis, akan tetapi mengomentari penulisnya secara tidak proporsional. Sang penulis menjadi obyek serangan cacimaki. Sangat tidak bernetiket, jauh dari sikap terpelajar, seakan-akan tidak ada seorangpun yang mengajarinya peradaban.Sopan santun di dunia maya sama saja seperti di dunia nyata, harus berpegang pada etiket. Masak kepada orang yang belum kenal langsung memaki-maki, di depan umum lagi!
Kompasiana adalah blog publik, dimana setiap tulisan maupun komentar dimungkinkan untuk ditayangkan, dibaca dan sekaligus dikomentari khalayak banyak. Saat pesta blogger berlangsung, Sabtu 22 November lalu, Kompasiana mulai membuka registrasi lengkap dengan tata-caranya bagi mereka yang berniat untuk menjadi penulis Kompasiana. Mengapa registrasi diberlakukan? Ini semata-mata agar penulis Kompasiana bukanlah anonimi alias “siluman”, tetapi orang yang berani menunjukkan identitasnya secara jelas, bahkan berani menampilkan foto dirinya sendiri!
Selama ini pembaca yang menukilkan komentar pada postingan tertentu tidak diharuskan melakukan registrasi. Dibiarkan bebas begitu saja, meski pada akhirnya harus dimoderasi. Mungkin ada baiknya juga jka si pemberi komentar pun kelak harus melakukan registrasi agar menjadi anggota Kompasiana terlebih dahulu. Tentu saja sikap ini harus diambil karena kita ingin menciptakan komunitas dengan identitas jelas, bukan mereka yang menyembunyikan identitas karena mungkin kurang percaya diri.
Kita ingin dan mendambakan komunitas yang berani berpendapat, bertanggung jawab atas apa yang ditulisnya, dan tetap memegang etiket bergaul di internet. Namun di sisi lain, Kompasiana tetap terbuka untuk dibaca dan dipetik manfaatnya oleh siapapun!

NETIQUETTE

NETIQUETTE adalah etika berinternet. Aslinya dua kata yang dijadikan satu, yakni networks dan etiquette. Sebelum internet lahir, kata netiquette tentu belum ada. Orang mengartikan sebagai berprilaku sesuai etiket saat tersambung ke jaringan internet, entah itu saat kita berinteraksi di forum, mailing list, maupun blog. Ternyata, ada etiket yang sejatinya harus dipegang oleh siapapun yang sedang berada di jaringan internet saat mereka berinteraksi. Bagaimana rupa netiquette itu? Prinsipnya sama seperti etiket atau sopan santun pada umumnya, hanya saja ranahnya di dunia maya!
NETIQUETTE merupakan etika dalam menggunakan internet. Internet sebagai sebuah kumpulan komunitas, diperlukan aturan yang akan menjadi acuan orang-orang sebagai pengguna Internet, dimana aturan ini menyangkut batasan dan cara yang terbaik dalam memanfaatkan fasilitas Internet.
Sebenarnya Nettiquette ini adalah hal yang umum dan biasa, sama halnya dengan aturan-aturan biasa ketika kita memasuki komunitas umum dimana informasi sangat banyak dan terbuka.
Beberapa aturan yang ada pada Nettiquete ini adalah:
  1. Amankan dulu diri anda, maksudnya adalah amankan semua properti anda, mungkin dapat dimulai dari mengamankan komputer anda, dengan memasang anti virus atau personal firewall
  2. Jangan terlalu mudah percaya dengan Internet, sehingga anda dengan mudah mengupload data pribadi anda. ada baiknya anda harus betul-betul yakin bahwa alamat URL yang anda tuju adalah dijamin keamanannya.
  3. dan yang paling utama adalah hargai pengguna lain di internet, caranya sederhana yaitu :
  1. Jangan biasakan menggunakan informasi secara sembarangan, misalnya plagiat.
  2. Jangan berusaha untuk mengambil keuntungan secara ilegal dari Internet, misalnya melakukan kejahatan pencurian no kartu kredit
  3. Jangan berusaha mengganggu privasi orang lain, dengan mencoba mencuri informasi yang sebenarnya terbatas.
  4. Jangan menggunakan huruf kapital terlalu banyak, karena menyerupai kegiatan teriak-teriak pada komunitas sesungguhnya.

Mengintai Pelaku CyberCrime !

Ironis! Tidak saja korupsi yang peringkat kedua, kejahatan cybercrime melalui Internet pun, Indonesia berada di urutan kedua. Tidak percaya! Lihat saja hasil riset terkini yang dilakukan oleh perusahaan sekuriti ClearCommerce (Clearcommerce.com) yang bermarkas di Texas, Amerika Serikat. Menurut data tersebut, 20 persen dari total transaksi kartu kredit dari Indonesia di Internet adalah fraud.

Tidak heran jika kondisi itu semakin memperparah sektor bisnis di dalam negeri, khususnya yang memanfaatkan teknologi informasi (TI). Berdasarkan hasil survei CastleAsia (CastleAsia.com) yang dilansir pada bulan Januari 2002, menunjukkan bahwa hanya 15 persen responden Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia yang bersedia menggunakan Internet Banking. Dari 85 persen sisanya, setengahnya beralasan khawatir dengan keamanan transaksi di Internet.

Dari data tersebut terlihat bahwa tingginya angka cybercrime akan berpengaruh secara langsung pada sektor bisnis skala kecil, menengah dan besar. Pengaruh tidak langsungnya adalah memburuknya citra Indonesia di mata komunitas Internet dunia.

Tidak itu saja. Pada tingkat yang lebih luas, hasil survei yang dilakukan pada tahun 2002 atas kerja sama Federal Bureau of Investigation’s (FBI) dan Computer Security Institute (CSI) menunjukkan bahwa kerugian akibat serangan cybercrime mencapai nilai sebesar US$ 170.827.000 pada kategori pencurian informasi dan US$ 115.753.000 pada kategori financial fraud (www.gocsi.com).

Bahkan, hasil survei yang sama juga menunjukkan kerugian sebesar US$ 4.503.000 akibat penyalahgunaan otoritas oleh orang dalam organisasi itu sendiri. Hal ini dimungkinkan dengan memanfaatkan kelemahan pada sistem keamanan jaringan internal yang kurang diperhatikan. Data tersebut menunjukkan bahwa saat sebagian pihak menekankan pentingnya sisi keamanan Internet, sisi keamanan jaringan internal, termasuk di dalamnya perilaku pengguna yang kurang tepat, ternyata juga berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar, karena kurang mendapat perhatian yang memadai.
Secara umum, dari survei yang dilakukan UCLA Centre for Communicaiton Policy (www.ccp.ucla.edu) pada bulan November 2001 menunjukkan bahwa 79,7 persen responden sangat peduli terhadap keamanan data kartu kredit ketika bertransaksi via Internet. Ditegaskan pula bahwa 56,5 persen responden pengguna Internet dan 74,5 persen responden non-pengguna Internet menyepakati bahwa menggunakan Internet memiliki risiko pada keamanan data pribadi.

Cyber Crime, Indonesia Tertinggi di Dunia

Jumlah kasus cyber crime atau kejahatan di dunia maya yang terjadi di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia, antara lain, karena banyaknya aktivitas para hacker di Tanah Air.
"Kasus cyber crime di Indonesia adalah nomor satu di dunia," kata Brigjen Anton Taba, Staf Ahli Kapolri, dalam acara peluncuran buku Panduan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) di Jakarta, Rabu.
Brigjen Anton Taba memaparkan, tingginya kasus cyber crime dapat dilihat dari banyaknya kasus pemalsuan kartu kredit dan pembobolan sejumlah bank.
Menurut dia, para hacker lebih sering dalam membobol bank-bank internasional dibandingkan dengan bank-bank dalam negeri.
Setelah Indonesia, ujar Anton, negara lainnya yang memiliki jumlah kasus cyber crime tertinggi adalah Uzbekistan.
Karena tingginya kasus cyber crime, ia juga mengkritik buku PBHI yang tidak memiliki bagian khusus yang membahas tentang hal tersebut.
Buku PBHI pada 2009 adalah edisi yang kedua, setelah edisi perdana terbit pada 2006.
Ke-15 bab dalam buku tersebut berisi tema yaitu Hukum di Indonesia; Sistem Hukum di Indonesia; Bantuan Hukum di Indonesia; Pengaduan; Hukum Keluarga, Perempuan, dan Anak; Perjanjian Kredit; Hukum Tanah; Hukum Perburuhan; Hukum Lingkungan; Hak Individu dalam Hukum Pidana; Hak Konsumen; Pelanggaran HAM Berat dan Hak Korban; HAM dalam Konstitusi; Pemerintahan dan Kelembagaan Negara; serta Advokasi.

Buku PBHI diterbitkan atas kerja sama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), dan Indonesia-Australia Legal Development Facility (IALDF).

Cybercrime di Indonesia

Di indonesia sendiri kejahatan di bidang IT sudah sering terjadi beberapa di antaranya saat adalah website – website pemerintah yang beberapa kali di deface, maupun memanfaatkan celah keamanan joomla (untuk beberapa website pemerintah yang masih menggunakan joomla) dan saat pemilu yang beberapa kali server KPU diserang dari berbagai daerah oleh para hacker, dan baru-baru ini pembobolan ATM dan kartu kredit yang sempat menghebohkan. maraknya tindak kriminal di dunia maya tergantung dari sejauh mana sumber daya baik berupa hardware/software maupun pengguna teknologi yang bersankutan mempunyai pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya keamanan di dunia maya, seorang penyedia layanan/ target cybercrime harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang metode yang biasanya seorang cybercrime lakukan dalam menjalankan aksinya.
Penanggulangan Cybercrime di Indonesia:
1. perlu adanya Undang-Undang yang kuat yang mengatur mengenai tindak kejahatan dibidang TI, serta komitmen pemerintah dan masyarakat dalam menjalankanya.
2. pemerintah juga harus proaktif dalam melakukan diplomasi atau pun kerjasama dalam bidang hukum maupun TI dengan negara-negara lain, karena tidak menutup kemungkinan pelaku cybercrime berasal dari negara lain. dan dengan adanya kerja sama maka semakin kuat lah penerapan Undang-Undang yang berlaku.
3. perlu ada nya evaluasi berkala dan tidak menutup kemungkinan akan ada nya perubahan Undang-Undang mengenai Cybercrime, hal ini dikarenakan Tingkat perkembangan Teknologi yang sangat pesat, sehingga sangat diharuskan agar Undang-Undang tetap bisa bertahan/beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang ada.
4. meningkatkan penggunaan teknologi yang lebih aman, dan di sertai peningkatan sumber daya manusia dalam mengelolanya, sehingga memperkecil celah keamanan yang bisa di manfaatkan oleh para cybercrime
5. menanamkan kesadaran akan bahayanya cybercrime dan bagaimana menanggulangi nya kepada masyarakat, sehingga mengurangi kesempatan para cybercrime dalam memanfaatkan kelengahan masyarakat dalam menggunakan teknologi. 
Kesimpulannya dalam menanggulangi cybercrime yang ada, tergantung dari perlengkapan yang di gunakan dan tingkat kesadaran bagi para pengguna yang berhubungan dengan teknologi tersebut